NONGKRONG.CO - Pada pertengahan November 1998, koresponden Time di Jakarta, David Liebhold, mendatangi kediaman Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Ciganjur, Jakarta Selatan. Jurnalis senior yang menginvestigasi jaringan bisnis keluarga Soeharto dalam laporan bertajuk Suharto Inc. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune ini mewawancarai Gus Dur setelah Tragedi Semanggi I. Wawancara Liebhold diterbitkan Time edisi 23 November 1998 berjudul Muslim Leader Gus Dur: If I Run, I Will Win.
Sebelumnya, pada 11-13 November 1998, ruas-ruas jalan utama ibu kota disesaki ribuan mahasiswa dan masyarakat yang menolak Sidang Istimewa (SI) MPR. Mereka memprotes penunjukan Habibie sebagai presiden menggantikan Soeharto karena dinilai mencederai semangat Reformasi. Habibie dianggap sebagai bagian dari kekuasaan Orde Baru sehingga layak turut ditumbangkan.
Baca Juga: Tak Perlu Mikir Keras, Prabowo Bocorkan Alasan Dibalik Gagalnya Penurunan Stunting di Indonesia
Time, majalah yang bermarkas di New York, menilai Gus Dur sebagai tokoh penting dan paling berpengaruh di Indonesia lantaran Nahdlatul Ulama, organisasi yang dipimpinnya lebih dari satu dasawarsa, diklaim memiliki 20 juta anggota dengan total pengikut sebesar 40 juta.
Tak hanya itu, meski tekanan darah tinggi dan penyumbatan peredaran darah membuat Gus Dur hampir buta dan kebanyakan terbaring di tempat tidur, jika ia mampu menyatukan kekuatan dengan “kelompok merah” yang dipimpin Megawati, diyakini mampu menggeser Habibie kapan pun.
Hanya saja, ini menariknya, ketika Liebhold meminta komentar Gus Dur terkait tuntutan demonstran agar Habibie mundur, justru ia menolak dengan keras. Menurut Gus Dur, melengserkan Habibie sebagai presiden adalah perkara yang tak realistis dan unconstitutional. Bahkan dirinya tidak mau dikaitkan dengan kelompok yang menuntut Habibie lengser.
Baca Juga: Terinspirasi dari India, Prabowo dan Gerindra Bentuk Gerakan Menurunkan Stunting
“Kami berdua [Gus Dur dan Megawati] menyadari bahwa jabatan kepresidenan adalah masalah jangka panjang. Kita harus berhati-hati agar tidak dikuasai oleh emosi,” kata Gus Dur.

Pernyataan Gus Dur ini sejalan dengan Amien Rais. Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) ini memberikan dukungan, meski secara terpaksa, kepada Presiden Habibie hingga Sidang Umum MPR 1999.
“Habis, mau gimana lagi. Siapa yang mau menggantikan mereka sekarang ini. Ibarat pepatah, tak ada rotan akar pun jadi,” kata Amien Rais di depan media, Senin (9/11/1998).
Baca Juga: Tahukan Anda, Siapa Inspirasi Prabowo? Faktanya Dijamin Mirip dengan Semua Orang
“Tugas Habibie dan anggota DPR/MPR sekarang adalah menyelesaikan Sidang Istimewa MPR, Pemilihan Umum 1999, dan menyelenggarakan Sidang Umum MPR 1999. Setelah itu, rezim Habibie harus turun," kata Amien Rais.
Gus Dur sendiri meyakini Pemilu 1999 akan berjalan secara bebas dan adil. Menurutnya, negara lain tidak akan membantu Indonesia jika pelaksanaan pemilu berjalan seperti pada zaman Orde Baru.
Artikel Terkait
Puncak Harlah 1 Abad NU Digelar di Gelora Delta Sidoarjo, Simak Kegiatannya Disini
Mengintip Berbagai Agenda Songsong 1 Abad NU di Provinsi ini
Gubernur Ganjar Pranowo Bikin Voting Pelaksanaan Porseni NU, Mayoritas Pilih Setiap Tahun
Songsong 1 Abad NU, Presiden Jokowi, Ketum PBNU, dan Atlet Porseni NU Jalan Sehat, Cek Rutenya Disini
Saat Jalan Sehat Menuju 1 Abad NU, Ketum PBNU juga Ucapkan Gong Xi Fa Cai untuk Warga Tionghoa