NONGKRONG.CO - Nama lengkapnya Siti Dyah Sujirah. Ia lahir tahun 1968 di Jagalan, Jebres, Solo, Jawa Tengah. Pada bulan Oktober 1988, beliau menikah dengan seorang pria asal Solo bernama Widji Widodo. Kelak, suaminya dikenal sebagai Wiji Thukul, salah satu penyair Indonesia yang lekat dengan puisi-puisi pelonya yang menggambarkan penderitaan rakyat kecil di bawah pemerintahan otoriter.
Sejak saat itu, Dyah, atau lebih akrab dipanggil sipon, mendampingi suaminya yang berjuang sebagai aktivis dan penyair. Namanya mungkin tidak asing di kalangan para aktivis 1998. Beliau juga melahirkan dua orang anak, yaitu Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.
Kehidupan sipon tentu tidak mudah. Puisi-puisi dan gerakan suaminya membawa keluarga kecil mereka untuk terus hidup berpindah-pindah, menjadi pelarian, dan sering gundah karena khawatir rumahnya diketuk oleh oknum negara.
Beberapa tahun menjelang 1998, suaminya semakin sering tidak di rumah. Kondisi keluarga mereka semakin tidak kondusif. sipon yang harus menanggung rindu kepada suami, juga harus menanggung kebutuhan keluarga. Karena tentu, Wiji saat itu belum bisa memenuhi nafkah kepada anak dan istrinya dengan layak, sementara dia juga harus pintar-pintar menyelamatkan diri dari kejaran aparat.
Di tengah-tengah statusnya yang masih buron, Wiji pernah sekali-kali menemui sipon. Meskipun tidak lama, tapi setidaknya mereka berhasil melepaskan rindu sekejap. Memori tentang Wiji di masa-masa akhir sebelum ia menghilang mungkin adalah hal yang sangat bermakna dalam hidup sipon.
Baca Juga: Pentingnya Masakan Ibu Dalam Novel Laut Bercerita
Konon, tanggal 10 Februari 1998, merupakan tanggal terakhir saat seseorang melihat jejak Wiji. Sejak saat itu, Wiji tidak terlihat lagi, bahkan hingga saat ini. Lebih dari itu semua, sang istri masih percaya bahwa suaminya masih bersembunyi demi melindungi diri dan keluarga kecil mereka.
Berdasarkan salah satu sumber, sipon sempat berkomunikasi melalui sambungan telepon dengan Wiji pada pertengahan Mei 1998, ketika kerusuhan besar terjadi. Di situ Wiji mengatakan bahwa dirinya sedang di Jakarta, tapi tidak terlibat dalam kerusuhan. sipon pada awalnya tidak mengetahui, bahwa obrolan singkat itu adalah pembicaraan terakhir dengan sang suami.
Setelah Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, dan reformasi digaungkan, mungkin sipon merasa gundah. Suaminya tidak kunjung pulang. Padahal situasi perlahan mulai kondusif. Mungkin, dalam hati kecilnya ada harapan, agar ia bisa kembali bertemu dan berkumpul dengan suami tercintanya.
Akhirnya, pada tahun 2000, sipon melaporkan Wiji sebagai orang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Dalam artikel yang ditulis oleh Munir Said Thalib, salah seorang aktivis HAM Indonesia, dikatakan bahwa sipon menyakini Wiji telah diculik oleh alat-alat kekuasaan. Keyakinan tersebut bukan tanpa alasan. Menurut sipon, Wiji tetaplah figur yang akan terus didukungnya untuk memperjuangkan perubahan.
Baca Juga: Chairil Anwar dalam 100 Tahun Kesunyian
Lebih jauh, intuisi seorang istri terhadap suami yang sudah ia nikahi bertahun-tahun menjadi alasan kuat, bahwa Wiji yang tidak kunjung pulang merupakan sebuah ketidakwajaran. Untuk itulah, sipon menyimpulkan bahwa Wiji mengalami nasib yang sama dengan beberapa kawan dekatnya yang telah hilang di zaman Orde Baru akibat kekejaman militer.
Sejak saat itu, sipon banting tulang untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Ia bekerja serabutan, dan kemudian bergelut di bidang konveksi hingga usia senjanya. Keahliannya dalam menjahit berhasil membuat dirinya sebagai orangtua tunggal yang membesarkan Fitri dan Fajar seorang diri, hingga kedua anaknya itu tumbuh dewasa, dan mengikuti jejak bapaknya; Fitri melahirkan beberapa buku puisi dan Fajar dikenal sebagai musisi.
Artikel Terkait
Wiji Thukul Dan Sastra Perlawanan
Melawan Versi Wiji Thukul!
Mengenal "Merdeka" Yang Masih Ambigu Ala Wiji Thukul
Suara Rakyat yang Tertangkap oleh Wiji Thukul
Chairil Anwar dan Kanonisasi Sastra Indonesia
Chairil Anwar dalam 100 Tahun Kesunyian
Puisi dan Kebebasan Sastra