NONGKRONG.CO - Mengenal mas Ashad Kusuma Djaya. Bagi teman-teman, HMI MPO se-Jogja dan juga di kalangan Muhammadiyah di Jogja, nama mas Ashad sudah familiar, beliau manta ketua HMI cabang Yogyakarta dan pasca kampus banyak bergelut di Muhammadiyah.
Mas ashad punya ciri khas, nyentrik dengan pemikiran-pemikirannya yang lebih berbasis strategi kebudayaan, mengadopsi gaya sufisme yang dibalut oleh intelektualisme merdeka.
Tanpa gelar akademik mentereng, tetapi faseh dalam banyak teori-teori sosiologis.
Kalau bagi mahasiswa ilmu sosial, tentu tak asing dengan Penerbit Kreasi Wacana, Penerbit buku-buku teori dan pemikiran sosial dari berbagai mazhab yang juga sering dijadikan bahan ajar di kampus.
Di balik penerbitan itu, ada sosok mas ashad yang menggawanginya. Penerbitan kreasi wacana tentu tidak sepele banyak jejaring akademik yang dihimpun mulai untuk menyeleksi buku-buku bermutu, hingga menerjemah dan menyunting, belum lagi beberapa terbitan hasil penelitian para akademisi di berbagai kampus. Hal ini menunjukan mas ashad luwes bergaul di kalangan kaum cerdik cendikia.
Buku tulisan mas ashad yang pertama saya baca dan masih ingat isinya, “Pewaris Ajaran Syeikh Siti Jenar Membuka Pintu Makrifat”, meski judulnya seram, tetapi isinya bukan melulu ajaran sufisme syeikh siti jenar, di dalamnya ada berbagai nuansa khas tentang pergerakan, terutama cara pandang tentang epistemologi ilmu, hingga strategi kebudayaan, dsb.
Diskusi khas para aktifis 90-an yang mengadopsi ide-ide tentang revolusi kebudayaan yang berjalan di China, meski dengan tafsir yang sama sekali berbeda dan tentu sudah dipoles dengan akar tradisi islam dan khazanah nusantara, jawa khususnya.
Saya lebih dulu membaca bukunya, sebelum kenal beliau secara personal, kebetulan di perpusatakaan masku yang juga aktivis HMI MPO cabang Semarang punya koleksi buku-buku mas Ashad itu. Hingga pada akhirnya, saya diminta mengantar teman-teman HMI cabang Semarang yang sedang berkunjung di Yogya dan menyempatkan menginap di cabang sleman, rombongan mas muhadz dan kang tofa yang pertama kali mengajak saya sowan ke mas ashad.
Baca Juga: Menikah dan Bahagia pada Usia Senja: Sang Legenda, Nani Wijaya
Di sanalah saya menemukan nuansa berbeda. Ngobrol ngalor-ngidul, setelahnya makan gudeg bareng dan diajak nonton film di rumahnya pake LCD dan layar di ruang tengah dan yang ditonton film “V for Vendeta”. Ini orang rebel, juga nih! Haha,
Setelah pertemuan itu saya sering berkunjung, tak jarang beliau yang ngajak ketemu. Saya selalu ingat jawaban sms-nya “Setelah jam 10 ya!”. Itu pertanda, dari pagi hingga malam beliau sibuk dengan beragam urusan dari mengurus usahanya yang tidak hanya percetakan, tapi juga distribusi buku dan juga buka kios sendiri di terban. Urusan masjid, dakwah, masyarakat sekitar, dll.
Rumahnya sederhana tapi penuh bersahaja di dekat alun-alun lor selalu terbuka untuk tempat diskusi panjang lebar, soal sejarah, budaya, agama, pergerakan, perkaderan, dll.
Pergumulan Intelektualisme di Pinggiran Jalan
Meski kami terpaut usia yang cukup jauh, mas ashad angkatan 90-an saya masuk kampus baru 2009, hampir 2 dekade bedanya, tetapi pertemuan dan diskusi selalu mengalir santai dan menyenangkan.
Artikel Terkait
MILAD HMI DALAM DUKA, Yakusa Pecah (lagi)? Catatan Lirih pada Momen Milad ke-76 HMI 5 Februari 2023
Ashad Kusuma Djaya, Sang Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama
Refleksi Ulil Albab (Mengenang Nasehat pernikahan dari Ki Ashad Kusuma Djaya)
Apa yang Tersisa dari Kematian? Kesaksian Atas Mendiang Ashad Kusuma Djaya