NONGKRONG.CO - Ini adalah kehilangan yang tidak terperi, darahku seakan berhenti sejenak mengalir ketika membaca grup WA yang sebenarnya sangat jarang kubuka. Ashad Kusuma Djaya itu telah pergi selamanya.
Tiap malam minggu masih saja kulihat wajahnya menjadi moderator di acara keluarga sakinah dengan istri tercintanya Intan. Saya adalah peserta aktif di acara tersebut, bukan untuk ikut diskusinya, disitu saya ingin ngecas kebatinanku, refleksi diri agar tetap berada dipihaknya dan tentu melepas rasa rinduku pada beliau dan keluarganya.
Ki Ashad Kusuma Djaya adalah orang yang selalu menginspirasiku, beliau adalah orang pertama yang membuka pikiranku yang sempit tentang Islam, karena ia cukup berani membuka yang selama ini kuanggap tabu, doktrin dan dogma tentang agama ini, lalu ia mencoba mengkonstruksi ulang cara berpikirku tentang agama yang selama ini tabu untuk kukoreksi.
Saat itu aku kagum pada tiap bait ucapannya, Ia dengan mudah menafsirkan dengan cara yang tidak terpikirkan olehku selama ini. Aku akhirnya memberontak pada pikiranku sendiri.
Sebuah keberuntungan bagiku, karena saya diberikan kesempatan untuk tinggal serumah selama 1 tahun dengan beliau di komisaris pertanian. Hal itu membuatku banyak kesempatan untuk diskusi banyak hal dengan beliau. Tentu kesempatan ini tak pernah ku lewatkan. Juga saat ia pindah ke rumahnya di Kauman, hampir tiap malam minggu saya mengunjunginya hanya untuk diskusi dengannya.
Beliau sangat menguasai ilmu logika, literasi yang sangat kaya, penulis yang produktif, dan pembicara yang sangat menginspirasi sehingga ketika berdiskusi dengan beliau kita tidak pernah menemukan sebuah jawaban final. Ia justru lebih cenderung untuk memantik kita untuk berpikir dan mencari jawaban yang lebih sempurna, dihadapannya kita terasa sangat bodoh, diskusi dengannya akan merangsang kita untuk lebih banyak membaca buku.
Suatu ketika, setelah lulus kuliah, saya memberanikan diri untuk menikah dengan salah satu Kohati yang kebetulan saat itu ketua komisariat. Keyakinan ini juga kudapat kudapat dari beliau, cara beliau menikah juga sangat unik untuk diceritakan.
Jangan pernah kuwatir tentang rezeki hari esok, begitu katanya. Jangan pernah mengatakan bahwa hidup ini sulit, karena dunia ini anugerah terbesar yang harus dinikmati setiap detik. Tuhan selalu ada disetiap nadi yg bergerak, biji yang tumbuh, daun yang jatuh bahkan tetesan air embun setiap pagi.
Beliau meminjamkan mobil bututnya agar saya bisa percaya diri untuk menikah dgn sangat sederhana. Mobil zebra tua untuk kulakan buku itu berangkat, dengan bangga kujadikan mobil pengantinku.
Tanpa hiasan apapun, mobil itu melaju apa adanya dari Jogja menanjak ke pengunungan temanggung, mogok beberapa kali, oli bocor, mesin kepanasan, muatan melebihi kapasitasnya sebagai mobil tua. Saya pun terlambat dari jadwal semestinya, tampil kucel penuh debu tapi tetap happy menjadi kesan yang tak terlupakan.
Usai pernikahan, ia pun kembali saya undang untuk mengisi nasihat pernikahan di komisariat. Saya bermaksud agar anak-anak komisariat, menjadi tidak pernah ragu ketika punya keinginan menikah. Karena saat itu banyak dari temanku yang sudah punya calon namun tak pernah berani melamar. Maka, biarlah saya dan mas Ashad akan menjadi contoh yang terburuk dari generasi ini, karena sesungguhnya secara ekonomi kami adalah orang yang paling tidak pernah siap untuk menikah. Tapi setidaknya kami punya nyali untuk melamar orang yang kami cintai.
Salah satu isi nasehat pernikahan yang masih saja kuingat sampai sekarang adalah, Ia mengutip sebuah hadis nabi populer yang diriwayatkan Muslim:
"Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak yang saleh."
Hadis nabi ini cukup familiar dan sangat sering sekali saya dengar. Tafsirnya pun tentu tak asing di beberapa kajian atau buku-buku yang saya baca. Hadis inilah sesungguhnya yang memantik silang pendapat antara NU dan Muhammadiyah bahwa bagi orang NU dengan melegalkan tahlilan, "Doa Anak Soleh" selalu sampai, siapapun anak itu jika ia sholeh maka doanya sampai.
Sedangkan Muhammadiyah menafsirkan "Anaknya yang soleh" saja yg sampai mendoakan, maka tak perlu ada tahlilan.
Artikel Terkait
Buntut Ketua PB HMI digugat Cabangnya, Kini Sudah Ada Pengganti, Siapa Dia, Apa Terkait dengan Pemilu 2024
MILAD HMI DALAM DUKA, Yakusa Pecah (lagi)? Catatan Lirih pada Momen Milad ke-76 HMI 5 Februari 2023
Ashad Kusuma Djaya, Sang Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama