NONGKRONG.CO - Dalam kehidupan adalah suatu keistimewaan yang tidak bisa diurai dari sisi materi apalagi dari kaca mata yang terlihat gelap. menjahit dalam kehidupan hanyalah persinggahan ketika enggan melewati suara-suara yang hampir tersengal.
menjahit secara harafiah berarti meletakan, menyambung. Dari artian itu menjahit suara hanyalah sebuah persinggahan batin ketika benang-benangnya itu tidak suasi dengan warnah suara-suara yang sekal.
menjahit suara dengan lidah yang patah adalah pertarungan yang menyedihkan ketika menjahit dipertemukan dengan lidah dan suara disandingkan dengan patah. Realita ini sedikit membingungkan ketika suara-suara sebatas cerita pagi hari ketika malam tidak memberikan mimpi dan hilang ketika mentari memilih menenggelamkan tubuhnya ke tengah samudera.
Baca Juga: Mengisahkan Masa Lalu Melalui Puisi, Simak Karya Sastra Dzakwan Ali
Realita menjahit suara tidak terlepas dari euforia yang gagal, mencintai dengan penuh namun tidak utuh, remuk, dan bercalar-calar. Sedangkan lidah yang patah adalah hujan logika yang dianggap hijau oleh benang-benang yang berseberangan. menjahit suara dengan lidah yang patah adalah formasi yang dibatasi fungsinya karena meletakan benang di atas lidah yang patah adalah kegelisahan yang panjang. Bukan saja menyatuhkan lalu dengan sendirinya satu dan utuh, namun menciptakan luka di atas luka yang dilupakan itu.
Pandangan kita lahir ketika banyak suara-suara yang dilisankan hingga berujung isyarat, baik dituangkan dalam syair, nyanyian, bahkan matra sekalipun tetap dinilai sama. Itulah yang sebenarnya terjadi di pelosok itu.
Baca Juga: Sejarah Kelam, Naga Hijau yang Mengepung Gus Dur, ini Strategi Abdurahman Wahid
Rendra dalam puisinya berjudul “Sajak Sebatang Lisong” menuliskan,
Kita mesti keluar ke jalan raya
Keluar ke desa-desa
Mencatat sendiri semua gejala
Dan mengahayati persoalan yang nyata
Dalam larik puisi ini, Rendra justru membaca keadaan yang tidak seharusnya nyata atau bisa dikatakan menggambarkan situasi yang tidak sesuai dengan harapan, bahkan larik puisi ini muncul dengan cepat ketika keadaan arkais itu sengaja dibalut dalam bingkai hiperbola yang sumringah. Lahirnya puisi ini tentu membuat kita melihat keadaan yang terjadi saat ini. Persoalan yang nyata tentu menjadi jalan lain bagi suara-suara untuk berkespresi dan kembali mempertegas persoalan itu.
Lebih mempertegasnya lagi, menjahit suara dengan lidah yang patah ini dilukiskan juga oleh Rendra dalam puisi yang sama.
Gunung-gunung menjulang
Langit pesta warna di dalam sanjakala
Dan aku melihat
Protes-protes yang terpendam
Terhimpit di bawah tilam
Baca Juga: Ternyata Gus Dur Telah Memprediksi Kebangkitan Sepak Bola Asia dan Afrika
Maksud larik puisi ini akan mempertegas perihal menjahit suara dengan lidah yang patah. Larik pertama dan kedua dalam bait itu menjelaskan bahwa ada kebahagian yang terus dirasakan oleh sekelompok orang sebagai pengendali kekuasaan. Bahkan larik itu menjelaskan kebahagian itu sulit dilihat dan dirasakan oleh orang-orang yang punya kedudukan yang paling rendah.
Sementara larik ketiga dan keempat dalam baitu menggambarkan menjahit suara ditandai dengan protes-protes terpendam dan lidah yang patah dikisahkan dengan terhimpit di bawah tilam.
Melihat lebih jauh, keadaan saat ini masih dirasakan oleh beberapa kelompok di pelosok yang enggan disebut seperti di dalam puisi itu. Tentunya tergambar jelas dan ironisnya keadaan itu. menjahit suara adalah identitas yang sangat jelas,
Kau
Kau yang dia tahu
Kau yang dibahasakan tubuh
Kau yang dipijakan batu
Kau yang menutup di saat kami tumbuh
Baca Juga: Puisi: Anonim || Karya Defri N. Sae
Artikel Terkait
REVIEW BIG MOUSE DRAMA KOREA (2022) SPOILER ALERT !!! Esai oleh Rahma Wahyuningrum
Buku TAK ADA ALASAN UNTUKMU HARUS HILANG DARI DUNIA, Esai oleh Nuno Yusuf
Contoh Esai untuk Tugas Sekolah Bahasa Indonesia Tentang Jauhi Narkoba, Singkat dan Mudah Dipahami