Nongkrong.co - Penulis-penulis handal yang langganan menulis di media massa terkenal biasanya membuka percakapan dengan mengutip perkataan orang-orang terkenal untuk menggiring opini pembaca ke arah yang diinginkan oleh penulis. Bagi pembaca yang handal, kutipan di awal, dan tentu saja kalimat judul, sudah merupakan hidangan pembuka (appetizer) yang nikmat sebelum benar-benar tertarik untuk melanjutkannya pada tahap hidangan utama.
Meski bukan penulis handal, dan media ini bukan media terkenal, saya akan mencoba menggunakan trik yang sama dengan penulis handal tersebut. Tetapi, alih-alih mengutip perkataan orang-orang terkenal, saya akan cukup percaya diri untuk mengutip perkataan saya sendiri, sebagaimana di bawah ini.
"Partai politik bukan perusahaan bisnis keluarga."
Kutipan di atas, sekurang-kurangnya, dapat pembaca gunakan untuk menyoal 2 (dua) hal. Yang pertama, soal pembedaan pengertian lembaga publik dan lembaga privat. Kegagalan dalam membedakan fungsi kedua lembaga tersebut akan berujung kepada apa yang sering disebut sebagai konflik kepentingan. Konflik ini khas terjadi pada pejabat lembaga publik yang keliru menggunakan lembaga publik untuk kepentingan privatnya sendiri. Secara bahasa, publik berarti orang banyak, umum. Sedangkan, privat secara bahasa berarti pribadi, partikelir, swasta.
Gejala paling khas dari konflik kepentingan ini adalah, menurut saya, apa yang sering kita sebut sebagai korupsi. Dalam pengertian ini, lingkup korupsi dapat berwujud benda konkret maupun benda tak konkret. Dalam praktiknya, korupsi selalu didahului dengan (di)rusaknya tata kelola organisasi, yang akan mengakibatkan adanya keuntungan pribadi yang akan diperoleh oleh pejabat lembaga publik. Contoh konkretnya, seorang pejabat akan berusaha merusak tata kelola pengadaan barang/proyek pada suatu lembaga publik. Perusakan ini sengaja diatur agar dapat menguntungkan diri pejabat tersebut secara pribadi. Tentu saja, ilustrasi tentang korupsi ini hanyalah sekedarnya saja.
Yang kedua, kutipan di atas seakan mengafirmasi gejala meluruhnya keterlibatan orang banyak (demos) ke dalam proses-proses pengambilan keputusan (politik). Dalam kasus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), (hak) konstituen partai luruh, dan yang tampak adalah (hak) figur tertentu yang itu-itu saja.
Jadi, soal yang kedua berdasarkan kutipan di atas adalah soal menguatnya politik berbasis figur. Pada tingkat akut, jenis politik ini menyandarkan seluruh penyelesaian masalah-masalah kehidupan berdemokrasi hanya pada sosok figur tertentu.
Mereka yang menganut paham politik ini, alih-alih berusaha menggali akar masalah dalam tata kelola organisasi penyelenggaraan pemerintahan, memperbaikinya secara demokratis lalu menjaga tata kelola itu berfungsi dengan baik, mereka malah mengkultuskan sosok figur tertentu yang akan menjadi agen juru selamat (messiah). Figur ini, dengan demikian, pasti digambarkan mengerti detail seluruh persoalan. Lalu, tanpa proses pelibatan orang banyak (demos), figur tersebut mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Pada era paska kerasulan dan kenabian seperti sekarang ini, dasar-dasar logika penganut paham politik ini jelas aneh dan sulit diterima akal sehat.
Baca Juga: Tiga Kekeliruan Dalam Pemilahan Pekerjaan Dunia dan Pekerjaan Akhirat
Nah, pada titik inilah, saya melihat PKB belum terperosok ke dalam pengkultusan figur tertentu yang layak diorbitkan menjadi agen messiah. Kalaulah ada Cak Imin yang gambarnya sedang dipasang di seantero jalan-jalan di Indonesia, justru hal ini menjadi bukti bahwa PKB sadar: tidak ada hubungan erat antara figur Cak Imin terhadap PKB. Dalam kata lainnya: orang-orang memilih PKB bukan terutama sebab figur Cak Imin. Bukti lainnya adalah semua lembaga survey sepakat mengenai elektabilitas Cak Imin dalam kontestasi pemilihan Capres yang rendah.
Dalam hal di ataslah, kita patut menyangka bahwa PKB adalah partai politik yang potensial menjadi partai demokratis sebagaimana seharusnya. Dan, yang pertama-tama paling patut mengembangkan persangkaan (husnuzon) ini jelas adalah warga NU, baik yang disebut kultural maupun yang struktural.
Kalaulah ada sebagian warga NU yang mempersoalkan langkah politik Cak Imin terhadap Gus Dur di masa lampau, (ideologi) NU sangat memadai untuk menyelesaikan persoalan ini. Bagaimana tidak: (petinggi) NU saja mau bermitra (baca= husnuzon) dengan Israel yang jelas-jelas melakukan kejahatan internasional, apalagi dengan PKB?
NU jelas tidak bermitra dengan izrael, sang malaikat pencabut nyawa, dalam strategi dakwahnya. Dan karena itu, NU mengembangkan strategi dakwah yang terbuka terhadap semua mitra, baik yang nyata-nyata berasal dari kalangan "hitam" maupun dari kalangan "putih". NU juga tidak punya ideologi takfiri dalam mengembangkan strategi dakwahnya. Dan dengan demikian, NU bisa saja mengambil hubungan dengan PKB berdasarkan asas-asas ini, pada saat ini. Tidak usah risaukan masa lalu dan masa yang akan datang, begitu kata-kata bijak yang sering saya dengar. Dan jelas: saat ini, PKB menginginkan hubungan yang lebih erat terhadap NU.
Tentu saja, hubungan dua pihak itu bisa berjalan dengan baik, apabila kedua belah pihak saling memahami kapasitas masing-masing dalam memenuhi harapan kedua belah pihak. Maksudnya, pada kenyataannya, tak mungkin NU dapat memenuhi seluruh keinginan-keinginan PKB terhadap NU. Dan sebaliknya, tak mungkin PKB dapat memenuhi seluruh keinginan-keinginan NU terhadap PKB. Sehingga, dalam menjaga hubungan, kedua belah pihak perlu mempunyai komitmen untuk menemukan titik temu dari dua garis kepentingan masing-masing.
Dalam proses menemukan titik temu inilah, saya mendukung Cak Imin, baik kapasitasnya sebagai warga NU sekaligus kapasitasnya sebagai petinggi PKB. Bahkan, saya mempunyai persangkaan, sebagian besar kendala-kendala hubungan NU dengan PKB, sebenarnya lebih banyak dipicu oleh pribadi Cak Imin. Jadi, saya mendukung penuh Cak Imin, terutama untuk menuntaskan misi meletakkan keluarga besar PKB dalam pangkuan NU secara lebih baik, saat ini --tidak di masa depan. Apalagi, kemampuan Cak Imin dalam mengakrabi semua golongan dalam mewujudkan misi politiknya sudah teruji selama ini.
Sampai pada tahap ini, penjelasan mengenai dukungan saya terhadap Cak Imin saya anggap cukup. Tetapi, ada satu hal lagi yang perlu dilakukan oleh warga NU, terutama mereka yang sedang aktif berperan sebagai pilar keempat demokrasi, yakni pers.
Fungsi pers dalam proses mengawal dukungan terhadap hubungan NU dan PKB yang lebih sehat sangat penting. Konkretnya, pers perlu menyadari beberapa hal yang sudah saya sampaikan di atas, misalnya tentang ketegasannya untuk menolak politik berbasis figur, mengawal tata kelola organisasi pemerintahan tetap berjalan secara demokratis, turut mengembangkan strategi dakwah yang terbuka terhadap semua mitra, dan sedapat mungkin menunjukkan dan memfasilitasi titik temu dari dua garis kepentingan NU dan PKB.