Nongkrong.co - Sebagaimana jasad manusia membutuhkan makanan, jiwa-jiwa dapat mengalami keresahan akibat kekurangan gizi. Jiwa yang cukup gizi mestilah mengalami kebahagiaan yang penuh akibat asupan makanan yang baik.
Tanpa kriteria baik ini, berapapun banyaknya makanan yang dimakan tak akan menjadikan jiwa-jiwa mencapai kebahagiaannya. Pada kondisi inilah, perlu bagi jiwa-jiwa mengenali asupan makanan apa yang termasuk dalam kriteria baik untuknya dirinya sendiri.
Kriteria makanan ini bukanlah sesuatu yang ajeg. Saat kecil, kita menyukai manisan yang berwarna mencolok. Seiring pengetahuan yang berkembang bersama usia, kita mulai meninggalkan kriteria makanan kesukaan waktu kecil itu.
Demikian pula, jiwa-jiwa tumbuh dan berkembang mengenali makanan kesukaannya.
Berbeda dengan makanan bagi jasad, pengenalan makanan bagi jiwa bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Seringkali, sebab kebiasaan yang kadung dilakukan bertahun-tahun, jiwa-jiwa kehilangan respon alamiahnya untuk memilah dan memilih apa yang baik bagi dirinya. Sementara itu, sebagian kecil orang bisa beruntung, sebab dirinya memperoleh kebiasaan dari lingkungan yang kondusif bagi dirinya untuk mencicipi ini dan itu.
Kegiatan mencicip tentu berkaitan dengan syarat kekuatan memilih. Tanpa syarat ini, kita hanya akan memakan makanan yang itu-itu saja tanpa bisa keluar dari kebiasaan yang seolah-olah tidak ada pilihan. Dalam hal ini, sebaiknya kita mengasumsikan satu hal: pilihan itu memang ada dan layak diupayakan sebagaimana saat kita merawat benih yang akan tumbuh menjadi tanaman induk suatu saat nanti.
Penguat untuk asumsi yang saya sarankan di atas adalah adanya kenyataan kriteria tanah yang baik dan tanah yang buruk. "..dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana (QS Al A'raf: 58).
Demikianlah, saya mencoba menjelaskan kepada Anda adanya jiwa-jiwa yang merana sebab makan dari tanah yang tidak subur.
Artikel Terkait
Relasi Subyek-Obyek dalam Kegiatan Belajar-Mengajar
Buku dan Upaya Melatih Pembaca Seriusnya