• Minggu, 24 September 2023

Cerpen Aiko dan Kehidupan Barunya

- Sabtu, 27 Mei 2023 | 11:34 WIB
Cerpen Aiko dan Kehidupan Barunya (Pixabay)
Cerpen Aiko dan Kehidupan Barunya (Pixabay)

Cerpen karya Ardy Kresna Crenata

NONGKRONG.CO - Jembatan ini cukup tinggi. Jika Aiko meloncat, ia tahu ia akan mati. Atau kalaupun kedua kakinya mendarat lebih dulu kemungkinan besar ia akan lumpuh. Belum lagi kendaraan-kendaraan yang melintas cepat di bawah itu lekas menabraknya atau melindasnya.

Pastilah bukan pemandangan yang enak dilihat, tapi Aiko membayangkan juga di tubuh jalan di bawah itu tergeletak tubuhnya sendiri dalam posisi yang sangat buruk dan memprihatinkan. Orang-orang di trotoar mungkin histeris, dan sejumlah mobil mendadak berhenti dan kemacetan terjadi. Tak lama kemudian, sirine polisi terdengar nyaring.
Tentu saja Aiko tidak berniat membuat hal itu terjadi. Ia berada di jembatan penyeberangan ini untuk melakukan observasi, bukan bunuh diri.

Sebuah novel yang sedang akan ditulisnya menghadirkan sebuah adegan di mana si tokoh utama menjatuhkan diri dari sebuah jembatan penyeberangan dan kematiannya yang tragis ini menjadi titik tolak dari bergulirnya cerita. Aiko membayangkan si tokoh utama itu perempuan; seorang istri dan ibu rumah tangga dengan kehidupan yang biasa. Sepersekian detik sebelum meloncat si tokoh utama ini menekan tombol kirim di ponselnya. Meeru yang ia kirimkan adalah untuk ibu mertuanya: Neraka adalah orang lain. Neraka adalah orang-orang di sekitar kita.”
___

Meski saat ini Aiko sama sekali tak berniat bunuh diri, dulu ia pernah benar-benar berniat melakukannya. Itu sekitar lima tahun yang lalu ketika ia masih tinggal di rumah suaminya, ketika ia masih terjebak dalam rumah tangga yang semakin lama semakin terasa tak masuk akal.

Sebagai seorang istri ia dibebani tugas untuk mengurus rumah dan ibu mertuanya yang sakit-sakitan. Bahkan, untuk hal ini, ia sampai terpaksa berhenti bekerja padahal ia baru saja memulai karier di sebuah perusahaan jasa ternama ketika itu. Suaminya yang memaksanya berhenti bekerja. Dan belakangan ia tahu, ibu mertuanya yang sakit-sakitan itulah yang mendesak suaminya agar memaksanya berhenti bekerja. Ibu mertuanya itu memang seorang perempuan yang kolot dan bodoh.

Dalam benaknya, sudah semestinya seorang perempuan melakukan tugas-tugas domestik ketika ia menjadi seorang istri. Ibu mertuanya itu tak bisa membayangkan anak menantunya menghabiskan banyak waktunya di luar untuk bekerja sedangkan anak semata wayangnya yang dibanggakannya itu memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang menurutnya sangat baik.

Aiko bertahan di rumah itu hingga tahun keempat. Dua tahun pertama sebenarnya tidak begitu buruk sebab suaminya, meskipun ia sama kolotnya dengan ibu mertuanya itu, tak pernah memperlakukannya dengan kasar. Namun perlakuan kasar itu mulai diberikan suaminya memasuki tahun ketiga. Hari-harinya di kantor sepertinya terus memburuk dan ia melampiaskan kekesalan dan kemuakannya itu di rumah, kepada Aiko.

Hampir setiap hari Aiko mendapati dirinya dikata-katai kasar oleh suaminya itu; beberapa kali ia bahkan pernah ditampar atau dipukul dan pernah juga suatu kali ia dicekik hingga ia hampir benar-benar kehabisan napas. Dan seakan-akan itu belumlah apa-apa, ibu mertuanya yang sakit-sakitan itu pun ikut-ikutan mengasarinya. Lidah perempuan tua itu begitu tajam dan kadar serta intensitas ketajamannya meningkat berkali-kali lipat di tahun ketiga Aiko di rumah itu. Pernah ia berpikir bahwa perempuan tua itu sebenarnya kesal kepada anaknya, hanya saja ia tak sampai hati melampiaskannya kepada orangnya langsung dan ia pun menyasar Aiko sebagai alternatif. Sungguh sebuah keputusan yang aneh jika itu benar.

Dan sementara Aiko berharap situasi neraka ini segera berakhir, dan kehidupan rumah tangganya perlahan-lahan membaik, apa yang dihadapinya setiap harinya sama sekali tak tertuju ke arah sana.
Dan puncaknya adalah malam itu; sebuah malam di mana suaminya menyetubuhinya dengan kasar. Itu pemerkosaan. Aiko sama sekali tak menginginkan hubungan badan namun ia terlampau tak berdaya untuk melawan; ia takut suaminya itu akan kembali memukulinya atau bahkan mencekiknya dan kali itu mungkin saja ia akan benar-benar mati.

Sehabis persetubuhan yang buas itu, suaminya pergi begitu saja ke ruangan lain tanpa mengatakan apa pun. Di tempat tidur, Aiko terbaring menelungkup dan begitu lemas. Tatapan matanya kosong. Mulutnya sedikit terbuka seperti tengah melepaskan sesuatu yang entah apa.

Di ruangan lain itu, suaminya menyalakan televisi dan membesarkan volumenya. Aiko bisa mendengar dengan cukup jelas kata-kata yang dimuntahkan televisi itu. Ia sendiri pun ingin muntah. Ingin sekali, tetapi ia menahannya. Dan ketika ia sudah tak bisa menahannya lagi ia bergegas ke toilet yang jaraknya sebenarnya cukup jauh dari kamarnya itu.

Di perjalanan ke toilet ia sempat menoleh dan mendapati suaminya tengah duduk di sofa menonton televisi dalam keadaan telanjang. Di dalam hatinya, Aiko menyumpahi suaminya itu agar cepat mati.

Di dalam toilet, setelah puas muntah-muntah, Aiko menatap lekat muntahannya itu seakan-akan cairan menjijikkan tersebut memiliki mata dan tengah balik menatapnya. Entah dari mana ide gila ini berasal, tapi Aiko sempat berpikir untuk membenamkan kepalanya ke muntahannya di kloset itu, dan terus membenamkannya hingga dalam sampai ia mungkin kehabisan napas dengan sendirinya. Tentu saja, itu tak jadi dilakukannya.

Halaman:

Editor: Rudy Han Gagas

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Democrazy, eh Demokrasi: cerpen Trip Umiuki

Minggu, 17 September 2023 | 17:26 WIB

Teks Eksplanasi tentang Bagaimana Terjadinya Hujan

Kamis, 14 September 2023 | 21:24 WIB

Negeri Tempe, Bukan Bangsa Tempe: cerpen Trip Umiuki

Kamis, 24 Agustus 2023 | 17:00 WIB

Sholawat Asyghil dan Kondisi Negeri Terkini

Minggu, 20 Agustus 2023 | 06:17 WIB

GORO-GORO di Hari Puisi Indonesia

Kamis, 27 Juli 2023 | 21:20 WIB
X