NONGKRONG.CO -
Puisi bukan sekadar pengantar kata bernuansa indah. Ia menelusup melalui diksi-diksi yang memiliki cerita tersendiri dan bermetamorfosis menjadi kepingan tulisan dengan makna tersirat. Untuk menikmatinya, pembaca memerlukan ketelatenan dalam menafsirkan setiap bait yang tercurah.
Melalui 25 puisi yang terdokumentasikan dalam buku bertajuk Fragmen: Sajak-Sajak Baru, Goenawan Mohamad kembali bercerita.
Marcopolo, misalnya, menarik pembaca mengingat masa 7 abad silam tentang seorang pengelana yang mengarungi dunia. Namun Marcopolo kembali, beberapa abad kemudian, dengan sejumput kerinduan akan kampung halaman. Waktu tidak mati. Marcopolo mungkin menanti sesuatu, mungkin adalah kematian atau sebuah ruang untuk beristirahat.
Dalam kesempatan lain, Goenawan kembali mengurai ceritanya pada tahun 2015 dengan judul Tentang Seorang Orang Tua. Menarik, karena umur orang tua yang tertera dalam puisi tersebut – 78, tidak jauh dari umur Goenawan ketika itu, 74 tahun.
Terbayang akan keletihan seseorang yang terlalu lama menetap di dunia. Pada akhirnya, soliter menjadi titik nadir setiap orang yang pernah bersenggama dengan kehidupan.
“Jangan kau kutip Nietzsche lagi!”.
“Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu
sejauh mana kita merdeka.”
Pada puisi Sjahrir, di Sebuah Sel, jejak historis lekap dengan pembaca. Berlatar tahun 1965, puisi ini menggambarkan keadan perpolitikan ketika itu melalui prespektif yang berbeda. Seorang tahanan dijadikan subjek yang konkrit dalam perefleksian akan angan tentang kebebasan dan kemerdekaan.
Baca Juga: Don Quixote; Pahlawan Kesiangan de la Mancha
Sebuah sajak adalah ibarat gema: ia saksi bahwa kita tak berada di ruang yang hampa, kita tak hanya bersifat linguistik, tapi juga eksistensial. (hal. 74)
Setelah itu, esai Fragmen: Peristiwa menjadi konklusi keseluruhan isi buku. Esai ini menjelaskan secara eksplisit tentang konsesi seorang Goenawan Mohamad terhadap puisi. Tentu di dalamnya ada kelugasan dalam menampilkan rentetan argumentasi yang disertai dengan data. Kekayaan inilah yang menjadikan tulisan-tulisan Goenawan Mohamad tidak pernah berdiri sendiri dan memiliki kedalaman makna.
Goenawan pun meminjam kata-kata dari Kafka, bahwa ‘menulis’ merupakan ketegangan antara menemui bahasa dan menemukan bahasa. (hal. 58). Hal ini menjadi penting bagi para penulis bahwa selalu ada orgasme setelah berhasil merampungkan satu tulisan. Terlepas apakah tulisan tersebut pada nantinya akan dipuja atau dihujat pembaca.
Artikel Terkait
Novel Gadis Kretek Ratih Kumala dan Eksistensi Perempuan dalam Rokok
Perdagangan Rempah dalam Novel Kura-Kura Berjanggut Karya Azhari Aiyub
Chairil Anwar dalam 100 Tahun Kesunyian
Sepatu Baru Abu-Abu, Cerpen Karya Laras Sekar Seruni
Perempuan Berpundak Laweyan; Cerpen Karya Laras Sekar Seruni
Don Quixote; Pahlawan Kesiangan de la Mancha